![]() |
Ilustrasi kecerdasan buatan di berbagai kehidupan|gambar by TSM teknologi |
Transisi.net, Jakarta – Perkembangan kecerdasan buatan (AI) kembali memunculkan perdebatan besar tentang masa depan pendidikan tinggi dan profesi mapan seperti dokter maupun pengacara. Salah satu pendiri tim AI generatif pertama Google, Jad Tarifi, bahkan menyebut gelar-gelar tersebut bisa menjadi sia-sia di masa depan.
Dalam wawancara dengan Business Insider, yang dikutip Futurism via detikINET, Tarifi menyatakan kemampuan AI yang kian pesat dapat menggeser relevansi gelar sarjana hukum maupun kedokteran.
Pendidikan tinggi seperti yang kita kenal sekarang berada di ambang kepunahan. Keberhasilan di masa depan takkan datang dari mengumpulkan kredensial, melainkan dari mengembangkan perspektif unik, kesadaran emosional, dan ikatan antarmanusia yang kuat," ujar Tarifi (Futurism/detikINET).
Tarifi menekankan bahwa generasi muda sebaiknya lebih menekankan keterampilan unik ketimbang sekadar mengejar gelar akademik panjang.
Saya mendorong kaum muda untuk berfokus pada dua hal yaitu seni terhubung secara mendalam dengan orang lain, dan upaya batin untuk terhubung dengan diri sendiri," paparnya (Futurism/detikINET).
Kritik terhadap sistem pendidikan
Tarifi menilai proses belajar untuk menjadi dokter atau pengacara sudah kalah cepat dibandingkan laju perkembangan AI.
Dalam sistem medis saat ini, apa yang Anda pelajari di sekolah kedokteran sangat ketinggalan zaman dan didasarkan pada hafalan," katanya (Futurism/detikINET).
Ia bahkan menyarankan PhD tidak perlu ditempuh kecuali seseorang memang benar-benar terobsesi dengan bidang ilmunya.
Dukungan dan pandangan lain
Pandangan kritis terhadap pendidikan tinggi juga datang dari tokoh lain. Pendiri Meta, Mark Zuckerberg, menilai biaya kuliah yang kian mahal dan kurikulum yang tertinggal membuat banyak lulusan tidak siap menghadapi dunia kerja.
Saya tidak yakin bahwa perguruan tinggi mempersiapkan orang untuk pekerjaan yang mereka butuhkan saat ini. Saya pikir ada masalah besar tentang itu dan juga semua masalah utang mahasiswa," kata Zuckerberg (Business Insider/detikINET).
Sementara itu, CEO OpenAI Sam Altman menilai AI bahkan sudah mampu mencapai level pemahaman setara pakar PhD.
GPT-5 benar-benar terasa seperti berbicara dengan pakar tingkat PhD dalam topik apa pun. Sesuatu seperti GPT-5 hampir tak terbayangkan di masa lain dalam sejarah," ungkap Altman (Business Insider/detikINET).
Rambu-rambu dan catatan penting
Meski pernyataan Tarifi dan tokoh-tokoh lain menggambarkan transformasi besar akibat AI, sejumlah akademisi dan praktisi pendidikan menilai peran pendidikan tinggi tetap penting, khususnya dalam membentuk etika, keterampilan klinis, dan tanggung jawab profesional yang tak bisa digantikan mesin.
Perdebatan ini menandakan bahwa wacana masa depan pendidikan tidak bisa dilihat hitam putih: AI memang membuka peluang efisiensi dan inovasi, tetapi juga menimbulkan tantangan besar soal kualitas, etika, serta keadilan sosial dalam akses belajar.
Editor : tim/red